Jumat, 16 Juni 2017

48 Rider: Theater Attack

“Orange Squash!”

“Hissatsu! Full Throttle, Speed!”

BAAAAAMMM!! Suara ledakan menggema. Api dimana-mana, asap tebal mengepul. Dari balik asap itu tampak dua buah sosok bertopeng yang berjalan keluar. Satu menggunakan kostum merah terang, yang lainnya menggunakan kostum biru dengan baju zirah berwarna jingga. Mereka berjalan menjauh dari ledakan tadi dengan gagah, didukung oleh angle kamera yang sangat mendukung. Ya, kamera.

 “Woooh, akhirnya keluar Blu-Ray nya, gua bisa nonton Movie War Full Throttle. Seperti prediksi gua… Kompor gas” sahutku dengan sangat antusias, berlebih mungkin. Dion yang duduk di sebelahku hanya melihatku dengan muka masam sembari berkata, “Peng, kayaknya kadar otaku di kepala lu udah mulai overdosis deh. Bisa ga, ga usah sambil loncat-loncat nontonnya. Lagian lu excited banget sama Movie War crossover kaya gini, kagak cannon juga.”. Aku hanya senyum saja mendengar Dion berbicara seperti itu. Memang, bagi sebagian kalangan pecinta film Jepang yang disebut  purist, cerita yang tidak ada kaitannya dengan jalan cerita asli filmnya—disebut juga filler—tidaklah terlalu menarik perhatian mereka. “Bodo ah, mau cannon mau gak. Yang penting ini film worth to watch lah! Gak sia-sia gua sabar menunggu!” sahutku sambil melirik Dion yang sedari tadi hanya bergelut dengan handphone-nya, mengecek fanpage twitter tokusatsu kesukaannya. Malam ini adalah satu lagi malam yang worth to spend untuk kami. Yah, setidaknya untukku sendiri.

 Seberkas sinar menyusup kedalam kelopak mataku, membuat tidurku sedikit terusik. Dengan sedikit terpaksa aku membuka mataku. “Kampret, Dion lupa nutup pintu kayanya tadi malem.” Gerutuku sambil menutup kembali pintu kost-anku. Aku meraih jam waker yang ada di samping tempat tidurku. “Mampus! Jam delapan! Kalo telat kelar idup gua nih!” teriakku kaget. Aku seharusnya bangun lebih pagi karena harus bekerja. Tetapi karena tadi malam terlalu asik menonton, aku sampai lupa waktu dan tidur terlalu malam. Alhasil aku kelimpungan sendiri mempersiapkan diri. Bak orang kebakaran jenggot, aku berlari kesana kemari mempersiapkan baju dan perlengkapan kerjaku. Pukul delapan lebih tiga puluh menit, aku menyalakan mesin sepeda motorku dan langsung memacunya dengan kecepatan penuh. Seharusnya dengan kecepatanku sekarang ini, aku sudah bisa tiba di kantorku hanya dalam tiga puluh menit.

 Satu jam kemudian, aku telah berlari masuk menuju kantorku. Estimasi waktuku hancur lebur berkat kemacetan kota Jakarta yang tak pernah mati, seolah benar-benar berencana untuk menghancurkanku sampai ke dalam. Aku langsung melesat menuju meja kerjaku yang kebetulan ada di baris paling belakang. “Waktu tiba, 09.35. Menakjubkan, lu tiga kali lagi telat aja, lu bakal dapet hape android keluaran terbaru sebagai doorprize. Atau, yah, seenggaknya gantungan kunci.” Sahut Dion yang meja kerjanya tepat di sebelah kananku. Aku hanya memasang muka masam padanya sambil menjulurkan lidahku keluar, dengan maksud meledeknya. Aku langsung menyalakan PC-ku dan memutar playlist musik favoritku yang menemaniku bekerja. Satu playlist yang seluruhnya berisi lagu dari seluruh album, single dan stage performance dari Idol Group nomor satu di Indonesia, JKT48. Lagu Flying Get menemaniku memulai pekerjaanku pagi ini.

 “Pak Yoshua Adinegara, anda dapat sebuah paket. Paketnya dapat diambil di resepsionis lantai dasar. Terima kasih.” Muncul chat box di layar komputerku yang berasal dari resepsionis di lantai dasar. Paket? Setahuku aku tidak pernah memesan barang apapun, terlebih untuk dikirim ke alamat kantorku dan bukan ke alamat rumahku sendiri. Aku coba tanyakan kembali Ori, resepsionis di kantorku, untuk kembali memastikan apakah paket itu memang benar untukku atau bukan. “Maaf, mbak Ori. Bisa tolong dipastikan lagi itu paketnya emang bener buat saya atau bukan. Karena seinget saya, saya ga pernah minta dipaketin barang buat dianter ke sini mbak.” Balasku di chat box tadi. Tak lama datang balasan dari Ori, kali ini disertai dengan foto. “Ini gambar jelas paketnya, Pak. Takutnya saya dianggap mengada-ada, hehehe.” Balasnya. Foto sebuah kotak kayu yang sudah cukup usang, namun disegel dengan sangat rapi. Diatasnya tertera namaku, Yoshua Adinegara, dan alamat kantorku. Di bagian tengahnya terdapa benda seperti emblem berbentuk huruf R. Tunggu, emblem ini terlihat tidak asing bagiku. Aku lalu menunjukkan foto ini pada Dion, dengan harapan ia mengingat emblem ini. “Yon, sini deh. Gua dapet paket yang gue ga inget sama sekali kapan gua minta, terus di tengahnya ada lambang R gede kayak gini. Kok, rasanya familiar yah?” tanyaku dengan penuh rasa penasaran. Mata Dion sedikit membelalak sembari beberapa kali melihat ke arahku. “Peng, masa lu lupa sih? Ini mah lambang Drive! Kamen Rider Drive!” jawabnya, yang sontak membuatku membulatkan mulutku. Ya, ini adalah lambang Kamen Rider Drive. Tapi, kenapa ada di kotak ini? Lagipula, apa isinya?

 Aku sampai di depan meja resepsionis dengan nafas sedikit terengah. “Mbak Ori, mana tadi paketnya coba? Aku pengen liat.” Sahutku pada Ori. “Yee, jangan diliat doang, Mas. Ambil aja, disini ga ada tempat buat nyimpen barangnya. Lagian paketnya perasaan gede banget, isinya apa sih?”ujar Ori, memberondongiku dengan pernyataan dan pertanyaan. “Ih, si Mbak kepo deh, hehehe. Ya udah, sini aku langsung bawa aja deh.” Sahutku sedikit menggoda. Ori langsung mengeluarkan kotak kayu yang ia maksud tadi. Pantas saja ia bilang tidak ada tempat untuk menyimpannya, kotak kayu dengan panjang satu meteran ini nampaknya hanya akan memenuhi meja resepsionis saja. Aku langsung membawa kotak itu ke atas, dimana Dion sudah menungguku. Sesampainya di sana, aku langsung menunjukkan kotak tadi pada Dion. “Nih, Yon. Gede banget kan? Ini apa isinya nih?” tanyaku pada Dion. “Driver sama Shift Brace, kali. Yang  CSM-nya, kan biasanya packagingnya suka beda.” Jawab Dion. Daripada hanya berdebat mengenai hal yang tidak pasti, aku dan Dion langsung membuka paket kayu itu. Isinya cukup mengejutkan, sebuah Drive Driver, Shift Brace dan Shift Car Speed. Namun yang anehnya adalah, semuanya seolah terbuat, atau lebih tepatnya terlapisi, dari batu. Aku dan Dion hanya saling memandang keheranan. “Driver, Yon. Tapi kok, dari batu sih? Gimana pakenya coba?”gerutuku menyayangkan hal ini. Diatasnya lagi terdapat sebuah kertas berisi beberapa huruf dan angka.

“Tepat dimana Black menjadi yang tertinggi, persiapkan dirimu untuk
sebuah takdir lain dari hidupmu. Permulaanmu adalah di sini.”

 Isi kertas tadi diikuti oleh serangkaian angka yang jika dicerna dengan seksama akan membuat sebuah koordinat dari suatu tempat. “Koordinat, Peng. Bentar, gua coba masukin di Maps yah......Nah, dapet! Ini, fx Mall? Lah, apaan nih? Kita disuruh nonton Theater gituh maksudnya?” ujar Dion sedikit bercanda. “Tapi mungkin gak, Yon? Kalo misalnya driver ini ada hubungannya sama Theater? Kita santronin aja gimana? Sekalian nonton lah, lagian kan kita udah dapet tiket yang bingonya kecil.” Ajakku pada Dion. Dion hanya mengangguk saja, lagipula tidak ada salahnya mencoba. Jadi akhirnya kami putuskan untuk mendatangi koordinat aneh yang adalah fx Mall itu tengah hari ini.

 Para fans dari berbagai kalangan, berbagai wilayah dan berbagai jenis kelamin datang memenuhi Theater JKT48 yang terletak di lantai 4 fx Mall ini. Kali ini, sesuai jadwal, Team KIII dari JKT48 akan membawakan Setlist “Gadis Remaja” selama beberapa puluh menit ke depan. Macam-macam tipe fans dengan atribut swag-nya sendiri telah memadati lantai tiga mall ini. Kotak tadi masih ku bawa, namun kumasukkan ke dalam tas olahragaku agar tidak menimbulkan kecurigaan orang lain. Aku duduk menunggu nomor binggo ku dan Dion dipanggil, sementara Dion asik sendiri menyambangi Official Shop. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi entah mengapa semenjak aku menginjakkan kaki ku di lantai tiga ini aku seperti merasakan atmosfir yang sangat berbeda dari sebelumnya. Seperti sebuah atmosfir yang kelam dan jahat. Seolah semua orang yang ada di lantai ini jiwanya tertarik melayang dari tubuh mereka masing-masing. Ah, tapi itu mungkin hanya perasaanku saja. Tidak lama kemudian nomor binggo kami pun dipanggil, dan aku langsung menyeret Dion yang masih saja anteng di Official Shop. “Binggo kita udah dipanggil, oy! Lu mau gua tinggal di luar Theater gituh?” sahutku pada Dion. “Ya-yaah. Bentaran dikit napa, Peng. Ada photopack Ve yang baru tuh! Gua harus dapet yang itu.” Balas Dion memohon. Ya, simpan saja untuk nanti, pikirku. Setelah dicek oleh security, akhirnya kami berdua diperbolehkan masuk ke lorong surganya wota. Baru saja kami menginjakkan kaki kami di dalam, seorang pria dengan rambut bob dan kacamata bulat menyerobot kami sambil berlari. “Woi, mas! Ati-ati dong, lagian rusuh banget. Shownya belum mulai juga.” Sahut Dion sewot. Kami berdua memandangi orang itu dengan agak geram, namun orang itu hanya mengangkat tangannya sambil sedikit mengangguk sebagai tanda permintaan maafnya. Lagi-lagi aku merasakan aura janggal yang aku rasakan tadi saat aku ada di luar, namun kali ini intensitasnya terasa lebih tinggi hingga membuatku sedikit mual. Dari orang ini? Ah, tapi mana mungkin? pikirku. Tanpa memikirkan hal itu lagi, kami berdua langsung mengambil tempat duduk yang agak dekat dengan stage, di baris kedua. Dan pertunjukan yang kami semua tunggu pun akhirnya dimulai.


 Sekitar tujuh puluh lima menit kami menikmati pertunjukan ini, semuanya berjalan lancar. Memang aku dan Dion menikmati show ini, namu kami tetap tidak lupa dengan pesan yang tertera di secarik kertas yang ada di dalam kotak tadi. Aku pikir, ini pasti ada hubungannya dengan perasaan aneh yang aku rasakan sedari tadi. Pertunjukan sudah akan memasuki sesi encore, dan semuanya terlihat baik-baik saja. “Eh, Peng. Gua gak tau apa ini ada hubungannya atau nggak. Orang yang nabrak kita tadi, lu ngerasa ada yang aneh gak sih sama dia? Kayak, sama sekali gak terlihat hidup atau gimana gitu.” Tanya Dion padaku tiba-tiba. Rupanya bukan aku saja yang merasakan hal aneh ini. “Iya, Yon. Udah gitu dari tadi pas kita nyampe depan Theater juga gua ngerasa aneh sama suasananya. Kaya, suram gitu.” Jawabku sambil menceritakan tentang apa yang aku rasakan di luar tadi. “Wah, lu ngerasa juga, Peng? Iya ya, aneh banget. Terus, lu sadar gak? Di daerah sekitar leher orang yang nabrak kita tadi, kayak ada tato abstrak warna warni gituh...” ujar Dion sebelum akhirnya aku potong perkataannya. “Bentar, tato abstrak warna warni? Kayak mosaik gereja gitu bukan?” tanyaku penasaran. Dan Dion mengiyakan pernyataanku tadi. Perasaan aneh, orang yang terlihat tidak terlalu hidup, dan tato mosaik? Jangan-jangan... Belum sempat rasa penasaaranku terjawab, terdengar sedikit keributan dari arah depan. Seroang pria berkacamata menerobos masuk dan berusaha naik ke panggung. Meskipun sudah ditahan oleh beberapa orang security, hal itu tetap tidak dapat menghentikan pria tersebut. Suasana mendadak hening, semua pandangan tertuju pada pria yang ada di atas stage. Bahkan para member pun hanya bisa terdiam sambil melihat ke arah pria itu juga. Lalu pria itu berteriak, memecahkan keheningan di dalam Theater ini. “AAAAAAKH!!! AKU SUDAH TIDAK TAHAN LAGI!!!!” teriak pria itu dengan lantang, sambil memegangi wajah dan kepalanya seakan-akan dia merasakan sakit yang luar biasa. Semua orang di Theater tersentak kaget dengan tingkah laku pria ini. Dan pemandangan selanjutnya yang ada di atas stage membuat semua orang lebih kaget dan takut. Pria itu menurunkan tangannya dari wajahnya, menunjukan wajah yang dipenuhi dengan tato yang kami bicarakan sebelumnya. Wajahnya dipenuhi amarah dan matanya menunjukkan insting membunuh yang sangat kuat, membuat semua orang di dalam Theater mulai panik. Dia berkata dengan nada lirih namun menyeramkan, “Kalian akan kujadikan makan siangku kali ini, hewan ternak!”. Seketika itu juga pria itu berubah bentuk menjadi monster yang sangat mengerikan, disertai teriakan histeris dari member JKT48 yang saat itu masih berada di atas stage dan beberapa penonton wanita. Dan seketika itu juga suasana berubah chaos. Apa yang aku takutkan menjadi nyata.
To be continue…

0 komentar:

Posting Komentar